Skip to main content

Lain Dulu, Lain Sekarang



Cerita Ini Hanya Fiktip & Bualan Belaka, Terinspirasi Dari Para Juragan Tanah Betawi.

Senja datang menjelma, Babeh Herman nampak tersenyum riang, Karena selepas sholat ashar ia selalu menyempatkan diri untuk pergi ketaman yang berada disebuah perumahan elite, Perumahan yang hanya berjarak 1km dari rumahnya yang sekarang ia tempati. Meski ia sadar apa yang ia kerjakan ditaman perumahan elite itu hanya untuk duduk melamun menikmati suasana sore akan tetapi bagi Babeh Herman semua itu punya banyak kenangan yang berarti bagi dirinya serta masa lalunya.

Meski terkadang untuk menuju ketaman disebuah perumahan elite tersebut dirinya sering berdebat dengan sang istri tetapi bagi Babeh Herman semua itu hanya hal biasa yang tak perlu ia risaukan. Yang istripun bukan tanpa alasan memarahinya, Karena terkadang Babeh Herman sering ketiduran ditaman perumahan elite tersebut hingga malam harinya baru ia bisa pulang setelah dijemput oleh sang istri serta anaknya. Bahkan Babe Herman sering masuk angin setelah pulang dari taman tersebut karena usianya yang sudah tidak muda lagi seperti dulu.

Warga taman perumahan sudah paham dengan ritual sore yang Babeh Herman lakukan, Laki-laki dengan rambut yang hampir seluruhnya telah memutih itu, Tidak pernah sekalipun membuat masalah ditaman tersebut. Selain itu Babeh Herman tidak pernah mengganggu warga atau anak-anak yang setiap sore bermain ditaman.kala bersamanya. Kadang kala malah kehadirannya bisa menjadi penolong, misalnya ketika ada sandal atau mainan anak yang ketinggalan di dekat danau taman, Dekat tempat ia termenung. Lelaki berambut putih yang bergelar Babeh Herman selalu paling akhir beranjak dari senja ketika matahari benar-benar terbenam, menyisakan jingga dipuncaki laungan azan Magrib.

Beberapa gadis remaja dikompleks perumahan yang memiliki danau itu menyebut Babeh Herman dengan julukan lelaki berambut putih. Sebutan yang agak puitis, mengacu pada waktu kedatangannya dan ritualnya di bangku besi dekat danau. Mereka kadang-kadang mencuri-curi untuk memotretnya dan mengunggah ke Instagram atau Tiktok. Kadang mengajak ngobrol lelaki berambut putih dan memintanya untuk bersedia dipotret. Lelaki berambut putih dengan senang hati menerima ajakan itu. Karena ia sangat senang melihat remaja-remaja yang ceria dan selalu mengingatkannya pada anak-anaknya baik lelaki maupun perempuan.

Sebenarnya lelaki berambut putih tidak hanya duduk termangu. Kadang kala mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di antara celah-celah paving block kompleks perumahan tersebut. Kadang juga membantu tukang kebun membabati pohon-pohon petai cina yang menjulang liar menghalangi pendangan dari kursi besi kearah danau. Warga sebenarnya tidak begitu hirau dengan pandangan yang terhalang itu, Tetapi mereka lebih khawatir dengan kemungkinan ular-ular akan masuk kompleks perumahan jika tanaman dibiarkan tumbuh liar. Apalagi, beberapa kali scurity kompleks perumahan dikejutkan oleh laporan warga yang tinggal di salah satu pojok kompleks bahwa di rumahnya ada kobra. Benar saja, dua anak kobra seukuran kelingking sepanjang setengah meter melingkar di dalam panci yang sudah lama absen ke dapur.

Sejak saat itu, Warga rajin bersih-bersih, Terutama membersihkan tanaman liar yang tumbuh di sekitar danau. Lelaki berambut putih selalu membantu dengan senang hati. Hanya ia dan tukang kebun yang bukan warga kompleks perumahan dalam kegiatan bersih-bersih tersebut. Warga sudah demikian akrab dengan lelaki berambut putih itu.

Tidak ada yang tahu, Lelaki berambut putih itu adalah orang yang kalah. Atau, Paling tidak merasa kalah. Kalah oleh keserakahan orang kota. Kalah oleh kenangan. Kalah oleh ketidakrelaan. Alasan dia datang setiap senja ke kompleks perumahan dan duduk di kursi besi ialah untuk mengenang masa-masa dia menjadi penguasa tanah dimasa lalunya.

Dia lahir dan besar di tanah itu. Lahir sebagai anak desa yang bahagia dengan sawah dan segala kemewahannya. Ayahnya seorang tuan tanah. Luas tanah milik ayahnya tidak pernah bisa ia bayangkan. Pernah dia bertanya kepada ayahnya seluas apa tanah milik keluarganya.

“Kau lihat pohon kelapa yang dibayangi bukit itu?”... Kata ayahnya.

“Yang dekat pohon nangka?”... Balas Herman sang anak.

“Bukan...Yang belakang lagi"....Seru sang ayah kembali.

“Yang berderet lima?”

“Iya betul...Dari sana sampai pohon kelapa di belakangannya lagi, Itu masih tanah kita".

Dia lalu menyapu pandang pada batas-batas tanah yang diceritakan ayahnya. Tetap saja kemampuan otak bocahnya belum bisa membayangkan. Dia hanya berpikir, Jika dibangun sejuta lapangan bola diatas tanah ayahnya, Pasti masih tersisa. Sebegitu luasnya.

Ditanah yang luasnya tak terbatas itu lelaki berambut putih tumbuh. Bermain di kubangan lumpur bersama kerbau atau berlarian mengejar bangau yang mencari makan di antara tanah bajakan.

Memasuki remaja, dia membantu menanam padi atau mengusir burung-burung yang sekadar mencari kenyang pada padi-padi bunting nan menguning. Juga ikut berdaki gabah ketika memanennya beberapa bulan kemudian. Dia lahir dan tumbuh di tengah sawah, di tengah tanah ayahnya yang luasnya tak terkira.

Tanah yang kemudian dibagi delapan, sepekan setelah ayahnya berpulang. Kakak dan abangnya bersukaria mendapat jatah tanah yang demikian lapang. Sebagai anak bungsu yang kala itu baru berumur belasan tahun, Lelaki berambut putih tak paham kegembiraan itu. Dia masih sedih ayahnya pergi. Bersama ibunya, dia terus bekerja di sawah yang kini tak seberapa dibandingkan sebelumnya, tetapi masih sangat luas. Jika ditanah itu dibangun enam lapangan bola, Masih menyisakan beberapa lahan parkir. Begitu dia mengandaikan sawahnya setelah beberapa kali menonton pertandingan sepak bola di Senayan.

Lelaki berambut putih kian dewasa, Lalu jatuh cinta dengan anak tetangga. Sepertiga harta warisan ayahnya habis untuk membawa gadis berlesung pipi itu ke pelaminan. Ningsih, namanya, Cahaya surga, Tampaknya memang demikian, Ningsih dimata lelaki berambut putih. Makanya, ia rela kehilangan sebagian tanahnya. Tidak apa-apa, setidaknya masih ada sawah seluas empat lapangan bola untuk membangun bahtera rumah tangganya dengan Ningsih.

Lelaki berambut putih yang hanya lulusan madrasah ibtidaiyah itu tak begitu paham cara mengatur jarak kelahiran anak. Baginya, anak itu rezeki Tuhan. Oleh karena itu, Setiap istrinya melahirkan, ia menggelar syukuran dengan biaya hasil menjual sebagian tanah lantaran hasil panen tidak begitu bagus. Tahu-tahu ini sudah anak keenam, Perempuan. Lelaki berambut putih gembira bukan kepalang lantaran kelima anak sebelumnya laki-laki semuanya. Syukuran lebih besar dari pada sebelumnya. Lagi-lagi pas panen sedang tidak bagus. Sebenarnya panen memang sering tidak bagus. Tapi, masih ada tanah luas yang bisa dijual. Jadi, Tak soal. Begitu pikiran lelaki berambut putih.

Sibuk mengurus sisa sawah dan enam anak, Lambat laun Lelaki berambut putih merasa usia tak lagi penting. Sampai pada suatu sore menjelang pulang dari sawah, Ia memandang Matahari hampir rebah kebarat, Awan jingga memayungi hamparan sawah yang kini dikepung jalan raya dan bangunan rumah. Lelaki Senja sadar, Sawahnya makin tak lebar. Anak-anaknya makin besar dan butuh biaya tak kecil untuk sekolah dan menikah, Sementara dia tak pandai menabung. Tak punya simpanan selain sawah yang kini tinggal satu setengah lapangan bola.

“Be, Apa sudah ada calon pembeli?”... kata Ningsih sambil membereskan cangkul dan tempat makan sebelum mereka pulang.

“Sebenarnya sudah"..

“Sebenarnya?”... Seru Ningsih menangkap ketidakpastian dalam kalimat suaminya Babeh Herman.

“Iya, Pak Satria yang pengembang itu, Kemarin kasih kabar ke Pak Lurah. Dia tertarik membeli sawah kita"..

“Ya sudah, jual ke dia"..

“Hmm….”

“Kenapa, Be? Harganya belum cocok?”...

“Selain itu, Ini sawah terakhir...Kalau kita jual, Terus kita kerja apa, Kerja di mana?”

“Kalau tidak dijual, Kita mau pakai biaya apa untuk pernikahan Nora anak kita, Meskipun dia perempuan, tetap butuh biaya banyak"...

“Apakah memungkinkan jika syukurannya sederhana saja, Tak perlu semeriah abang-abangnya dulu?"...Kata Babeh Herman.

“Apa kata tetangga nanti, Be?"...

“Ya, Kalau mementingkan kata tetangga, Bisa bangkrut kita" ...

“Terserah Babe deh. Tapi, sebaiknya jual saja sawah ini demi harga diri Nora"...

Obrolan sore itu dimenangi oleh Ningsih, Yang menurut lelaki berambut putih tak lagi secerah cahaya surga. Gengsinya meredupkan kebahagiaan berumah tangga. Itu yang banyak menurun ke anak-anaknya. Bisa ditebak kelanjutannya, sisa sawah dibeli Satria dengan harga lumayan tinggi dibandingkan sebelumnya. Lelaki berambut putih masih berat sebenarnya, Tapi luluh ketika kala ia melihat dua koper kulit buaya isi lembaran uang. Semua itu beralih ke tangannya setelah ia menandatangani selembar kertas persetujuan penjualan tiga perempat sawahnya. Lelaki berambut putih menyimpan seperempatnya untuk sekadar menyalurkan hobinya ke sawah, Karena dengan ukuran tanah segitu, sulit bisa bertani produktif.


~~~🌾🌾🌾🌾🌾🌴🌴🌴🌾🌾🌾🌾🌾~~~


Hari-hari berikutnya, Ia dan istrinya hidup dari sisa uang hasil penjualan tanah. Itu pun kadang masih diminta anak-anaknya yang sebagian besar bekerja dengan upah tak begitu jelas. Jadi tukang ojek, Tukang gali sumur, Montir sepeda motor, Buruh bangunan, Dan satpam mall. Mereka yang jarang pulang, tiba-tiba beruntun datang ketika mencium di rumah Babenya lagi banyak uang dari hasil menjual tanah dan sawah.

“Bulan laluKan Udah minta duit, Sekarang mau minta lagi buat apa?”... kata lelaki berambut putih kepada anak sulungnya Agus yang berprofesi sebagai tukang ojek.

“Ojek sepi, Be"....Balas Agus berkilah.

“Ya ganti kerjaan, napa?”... Timpal Babeh Herman.

“Kerjaan apa, Be. Perusahaan kagak mau terima aye"..

“Salah sendiri. Dulu disuruh sekolah kagak pada mau"...

“Ya gimana, Be. Udah nasib begini"..

“Nasib? Males kali"..

“Ah, Babe... Jangan gitu Be, Kan aye anak Babe juga"...

“Terus, luh butuh duit berape?”...Seru Babeh Herman sedikit kesal.

“Seikhlasnya Babe aja deh"...

Akhirnya lelaki berambut putih itu merogoh sakunya, Mengeluarkan dua lembar duit seratus ribuan dan menyodorkannya ke anak sulungnya yang bernama Agus.

“Ah, Babe bercanda. Masa cuma segini?”...Keluh Agus.

“Segini gimane. Banyak itu Gus, Bisa untuk bertahan sebulan lebih"...Balas Babeh Herman tak peduli.

“Apa Sebulan?”...

Ngaco, Babeh nih"..

“Iye, Sisanye luh cari sendiri sono, Terkecuali emang luh dah jompo"...

Biasanya dialog seperti itu berujung pada sikap mengalah lelaki berambut putih. Ia tak ingin anaknya susah. Apalagi melihat duit di koper, Rasanya tak apalah jika diambil seikat dua ikat. Begitu terus tiap anak-anak datang, Sampai uang itu tinggal beberapa lembar.

Tatkala tenaga makin berkurang seiring semakin banyak warna rambut putih keperakan, Lelaki dengan sebutan Babeh dalam keluarga itu, Kehabisan tabungan. Tak ada cara lain, Jalan satu-satunya melepas sawah terakhirnya kepada pengembang perumahan yang berulang kali berminat membelinya. Itu sekitar sembilan tahun lalu. Kini, sawah itu tak berjejak. Semua berubah menjadi perumahan yang dijaga enam Scurity.

Hari-hari terus berlalu lelaki berambut putih itu kembali mengetuk gerbang perumahan yang berwarna hijau daun untuk menuju taman serta danau dimana ia sering melakukan ritual menikmati senja sore. Seorang Scurity mendekat, Lalu dengan penuh ketakziman dia berkata.

“Maaf, Pak. Untuk sementara kami dilarang menerima tamu. Untuk masuk ketaman atau danau karena kompleks taman perumahan ini sedang ada PPKM"...Kata sang scurity dengan tegas.

“Kenapa begitu? Kan sudah biasa saya ke sini?”....Seru Babeh Herman atau Lelaki berambut putih.

“Benar, Pak. Tapi, sekali lagi mohon maaf. Orang luar tidak boleh masuk karena takut membawa virus kedalam kompleks perumahan ini"...

“Saya sehat-sehat saja. Tidak ada penyakit macam-macam. Virus itu hanya menyerang orang yang sudah berpenyakit"...Balas Babeh Herman dengan geram.

“Tapi, Kami tidak berani menerima tamu, Pak. Itu perintah ketua rw dan pengurus lingkungan kompleks perumahan ini”..

“Ketua rw, Atau kepala lingkungan disini pasti tidak tahu siapa aku yang sebenarnya. Ingat dulu aku ini pemilik semua tanah perumahan ini!”... Seru lelaki berambut putih mulai berteriak emosi dan sembari menggoyang-goyang pintu gerbang kompleks perumahan itu.

“Buka! Buukaa! Buuukkaaaa!!! pintu gerbang ini”...

Keributan itu memicu warga mendatangi lelaki berambut putih itu, Disisi luar dan scurity di sisi dalam. Warga luar dan dalam kompleks perumahan lalu berdiskusi kecil dan memutuskan lelaki berambut putih untuk segera dibawa pulang. Akhirnya tubuh tua renta lelaki berambut putih itu tak kuasa melawan orang-orang kompleks perumahan yang lebih gagah jauh berbeda dengan dirinya. Dia memilih pasrah dituntun pulang. Dipintu rumah, Ningsih menyambutnya. Lelaki berambut putih menolak masuk kedalam rumah. Dia duduk di kursi rotan di teras rumah.

Wajahnya muram, Nampak butiran air mata membasahi pipinya kemudian ia membayangkan tak ada lagi sore hari untuk bisa duduk dikursi besi memandang danau, mengenang hamparan sawah yang luasnya tak terkira. Membaui aroma tanah yang mengingatkan dia pada musim tanam bersama mendiang ayahnya dulu. Diusianya yang kini telah senja, Ia merasa menjadi manusia yang sia-sia. Orang-orang sekarang sangat berbeda jauh dengan orang dahulu, Yang mana kala itu ia masih berjaya dan bergelar Babeh Herman sang juragan tanah. Tiba-tiba ada perasaan menyesal baginya, Karena telah menjual semua sawahnya yang kini sudah lain dengan yang sekarang.



~~~ THE ~ END ~~~

Comments

  1. Wah tanahnya habis diborong juragan Satrie di tukar sama dua kopor jam tangan 🤣🤣

    Gara2 isterinya ya kang hidup foya2 dan para anaknya yg selalu minta dua gepok 🤣🤣

    Jadi tinggal dimana Kal-El skrg, setelah semua tanahnya di planet Crypton dijual 😅😅

    ReplyDelete
    Replies

    1. Nggak Huu...Cuma kopernya doang yang gue kasih..🤣🤣🤣


      Betul Huu...Terutama yang namanya Agus, Sehari bisa minta 5 gepok uang...🤣🤣🤣

      Tenang Huu rencananya die mau beli tanah lagi di Bulan.🤣🤣🤣

      Delete
    2. Wah sehari 5 gepok, apa aja tuh yg dibeli Mas Agus 😅

      Oh pantesan Kal-El blm muncul, rupanya lagi di bulan 😅

      Delete
    3. Banyak Huu, Termasuk buat ngawinin Janda..🤣🤣🤣


      Betul Huuu....Ia mau bertani dibulan bersama Alien dan ET..🤣🤣🤣

      Delete
  2. Sedih aku bacanya, Mas Satriaaaaaa. 😭😭😭😭

    Kasihan babeeeee 😭. Andai aja Babe Herman sejak awal gak terlalu memanjakan istri dan anak-anaknya, mungkin sawah itu masih ada. Bahkan masih bisa untuk diwariskan ke anak-anaknya kelak. Mana tanah makin tahun harganya makin mahal kaaaaan. 😭

    Terus sekarang gimana nih, nasibnya kalau tanah udah habis, uang sisa hasil jual tanah juga habis.. Babe Herman dan istrinya hidupnya makan pakai apaaaaaaa? 😭

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tenang mbak Roem, kan masih ada juragan satria yang kasih makan satu juta per bulan, 😄

      Tanah memang makin mahal tapi masih ada yang murah kok, coba saja ke Papua, lebih murah dari di Jakarta.😆

      Atau mau lebih murah lagi pindah ke planet mars.🤣

      Delete
    2. Kenapa sedih mbak Roem? Kan ada aku yang selalu disampingmu.🙄😳🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣

      Yaa semua itukan demi anak2nya juga mbak Roem.😁😁


      Oohh tenang urusan makan katanya Babeh Her, Ingin makan LAUE BURGER BAR Paling enak dikota Kediri mbak katanya.🤣🤣🤣

      Delete

    3. @Agus...Urusan makan perbulan ente calon penggantinya gus.🤣🤣🤣


      Berat diongkos kang kata Babe Her, kang.🤣🤣🤣

      Kebulan biru aja katanya kang...🤣🤣🤣

      Delete
  3. Kasih sayang orang tua yang berlebihan akhirnya membuat satu keluarga susah ya kang. Tanah warisan satu kecamatan bisa habis karena dijual satu persatu.

    Jadi ingat sama cerita temanku orang Banten sini kang. Katanya bapaknya dulu punya tanah luas di daerah sini tapi akhirnya juga habis ludes dijualin. Mana jualnya murah banget lagi katanya. Dijual cuma 2.000 per meter. 10 ribu meter cuma dapat uang 20 juta doang katanya. Kalo kerja sekarang lima bulan udah dapat 20 juta bahkan 25 juta kalo banyak lemburnya.

    Aku jadi penasaran, emang bapak kamu jual tahun berapa? Tahun 2010? Atau tahun 2000?

    Katanya tahun 1980 atau bahkan kurang saat dia masih SD.🤣



    ReplyDelete
    Replies
    1. Tul Huu...Lambat laun yang namanya harta kalau berbentuk duit pasti habis.😁😁

      Tanah tahun 80,an seharga 2000 perak mah gede kang...Dulu tahun segitu didepok 3000 ribuan permeternya sekarang bisa hampir 6 sampai 7 jutaan permeter.😁😁

      Delete
    2. Makanya pengin aku kasih sambel tuh mulut temanku, tahun 80an mah, jajan 25 rupiah juga kenyang seharian apalagi itu 2000. Bisa buat jajan dua bulan.🤣

      Delete
    3. Masa sih 25 rupiah di thn 80an bisa bikin kenyang 🤣

      Delete
    4. Bisa Huu...Tahun 87 sewaktu gue TK soalnya pernah beli bubur ayam seharga 25 Rupiah meski sedikit tapi kenyang juga kala itu..🤣🤣🤣

      Delete
    5. @Agus .... Betul kang...🤣🤣🤣🤣

      Tanah semeter sekarang berapaan kalau di Cikande kang.😊😊

      Delete
    6. Aku ingatnya cuma thn 90an, 100 perak cuma dpt permen 5 biji, cepat juga ya pergeserannya, dari 80an bisa beli buryam 10 thn kemudian (dan pas 90an) cuma dpt permen 5 biji 🤣

      Delete
    7. Tergantung letaknya kang, kalo pinggir jalan raya dekat kawasan industri bisa 5-7 juta per meter, tapi kalo di kampung pinggir jalan cuma 1 sampai 2 juta, tapi kalo masuk kebun paling 300 ribuan. Kalo ujungnya kebon paling 150.😂

      Delete

    8. @Suhu Ajay....Iya setelah tahun 90,an Naik memang...bahkan ada yang sampai 150 rupiah kalau belinya ditempat tertentu...Yang keliling masih dapat 100 perak.


      Kan tahun 90,an teknologi semakin meningkat kala itu...Dan harga2 pada naik...Termasuk permenlah.🤣🤣🤣🤣

      Delete

    9. @Suhu Agus....Berarti termasuk masih murah yaa kalau diperkampungan tempat ente...Cuma sekitar 2 jutaan. Berarti kemungkinan naik bisa nunggu sampai 5 tahunan lebih.

      Kalau ditempat gue dikampung saja dipedalamannya bisa kena 5 jutaan sampai 6 jutaan..🤦‍♀️🤦‍♀️

      Berarti beli rumah/ tanah..
      Buat investasi diCikande masih enak yaa kang..😊

      Delete
    10. Kalo ada duitnya emang enak beli tanah buat investasi kang, tapi kalo buat makan sehari-hari juga begini aja gimana mau investasi.😂

      Ayo ke Cikande kang beli tanah, kebetulan kemarin ada orang mau jual tanah mau buat magang lurah, mau jual tanah 2000 meter cuma 3 M.

      Kalo deal jangan lupa aku kasih komisi.🤣

      Delete

    11. Yaa2...Ok, Kalau beli satu pengki dulu bisa nggak Kang.🙄😳😳

      Ntar sisanya 20 tahun lagi menyusul.🤣🤣🤣🤣

      Delete
    12. Ini sudah 20 tahun, udah bayar sisanya belum kang? 🤣

      Delete
    13. Satu pengki berapa, sekilo kah atau semeter? 🤣

      Delete
  4. kang satria, mbul pengen tanya sesuatu lewat email tentang blogging. Mohon dicek ya...

    cerpennya ntar baca kalau udah ada waktu senggang..

    makasih 😊🙏

    ReplyDelete
  5. Aku gemeeeeees bacanyaaa 🤣. Gemes pengen getok si babeh yg jual tanah kayak jual kerupuk , kentingin harga diri pula drpd kenyamanan pas tua 😄. Kalo punya anak kayak anak si babeh, mending aku biarin dah, biar belajar hidup itu keras 🤣🤣

    ReplyDelete
    Replies

    1. Yaa begitulah babeh Herman, Punya berhektar-hektar tanah tetapi ia sendiri kurang bisa mengelolahnya. Gaya hidup sekarang dan bujuk rayu sang istripun tak bisa lagi ia hindarkan.


      Iya betul mbak Fans seharusnya babeh Herman tak perlu mengurusi kehidupan rumah tangga anak2nya yang selalu ingin dimanja dan males untuk bekerja, Selama uang warisan babeh masih banyak.

      Delete
  6. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  7. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Post a Comment

TERIMAH KASIH SUDAH MELUANGKAN WAKTUNYA KEBLOG YANG UHUUKK!! EEHEEEMMM!!


Popular posts from this blog

Cerpen : Cermin Kematian

~CERPEN : Cermin~Kematian~ Malam semakin larut Manda masih berdiri didepan cermin besar yang ada dikamarnya, dadanya berdesir, Manda takjub melihat wajahnya sendiri di cermin. Serupa benar dengan wajah seorang putri, katanya dalam hati. Ya, kau memang cantik, Manda. Wajahnya tersipu mendengar pujian itu. Pipinya merona. Merah muda. Ia tersihir oleh bayangannya sendiri. Bayangan ketika ia masih berada pada masa empat puluh tahun lalu. Wajahnya cerah, berseri-seri. Setengah terpana melihat kecantikannya sendiri. Rambutnya panjang, berwarna hitam kecokelatan, berkilat, bergelung seolah ombak. Dahinya licin. Matanya bulat, berbinar-binar. Hitam pekat seperti langit malam. Dikedip-kedipkannya matanya, hingga ia perhatikan bulu matanya yang tebal dan lentik. Tebal serupa alisnya yang melengkung menaungi sepasang matanya yang indah itu. Diturutkannya telunjuknya, dari hulu hingga muara alisnya. Cantik sekali dirimu, Manda membatin. Ya, kau memang cantik, Manda. Hidungnya,

Li-Fi Teknologi Pengganti WI-FI

Hallo sobat blogger gimana nih masih pada semangat ngeblog? Atau udah pada ogah-ogahan.😁😁😂 Karena adsense sepi, yaa apapun itu kita harus tetap bersyukur, meski adsense sepi masih banyak rezeki yang lainnya iyaa nggak.😊 Ok kita langsung saja ketopik pembahasan tentang teknologi Lifi yang katanya nantinya akan menggatikan Wifi, Dan Menurut rumor yang beredar Lifi lebih hebat dan cepat ketimbang Wifi. Seperti apa berikut penjelasannya dibawah ini.👇 Wi-Fi menjadi teknologi transfer data yang sudah familiar digunakan oleh banyak orang saat ini. Namun seiring dengan perkembangan teknologi yang berjalan begitu cepat, kehadiran Wi-Fi bakal tergeser oleh Li-Fi. Apa itu Li-Fi dan bagaimana cara kerjanya? Bagi sebagian orang mungkin masih asing dengan istilah Li-Fi. Li-Fi digadang-gadang sebagai teknologi baru jaringan nirkabel yang bakal menggantikan Wi-Fi. Teknologi ini kelebihan dan keunggulan dibandingkan dengan Wi-Fi sebagai media transfer data. Oleh karena itu, Anda pe

Telat Mencabut

Kesibukkan bekerja membuat Agus lupa akan kesehatan tubuhnya hingga akhirnya ia harus dilarikan kerumah sakit terdekat karena sakit. akibat kurang teratur makan. Tiga hari kemudian teman kerjanya yang bernama Khanif datang menjenguknya, dan kebetulan memang hari itu tepat waktunya untuk jam kunjungan membesuk pasien. "Sorry banget Gus baru hari ini gue bisa datang membesuk luh kerumah sakit"... Kata Khanif teman kerjanya. Berhubung Agus orangnya sabar dan pemaaf meski baru sembuh dari sakitnya ia mencoba tersenyum kepada Khanif... "Nggak masalah Nif, nggak usah dipikirin toh hari ini luh sudah bertemu gue". "Eehhhmm, anu Gus, gue juga minta maaf, karena membesuk luh nggak bisa membawa apa-apa, soalnya gue juga baru sembuh dari sakit gigi Gus". Agus kembali tersenyum... "Aah! luh nggak usah sungkan-sungkan Nif sama gue, luh datang gue juga udah senang". Suasana menjadi hening sejenak sampai akhirnya Khanif kembali berbicara